Rachun Rilis Single “Sendiri” Elegi untuk Kucing Tercinta

Rachun Rilis Single “Sendiri” Elegi untuk Kucing Tercinta

Waktu mendengarkan draf album perdana Rachun, gue merasa ada kepingan (puzzle) yang hilang dari bakal rilisan itu. Rasanya, untuk menjadi album perdana yang merepresentasikan Rachun, harus ada satu lagu lagi yang lebih ramah di telinga. Bagi gue, yang bisa melengkapinya, ya, lagu Yudhis.

Sayangnya, sejauh yang gue kenal, Yudhis bukan pencipta yang bisa bertelur sesuai pesanan. Jadi, jelas mustahil untuk menuntut Yudhis menciptakan lagu baru. Akhirnya, suatu malam gue coba menganalisis komposisi Yudhis di lagu “‘Kan Biasa” dan “Dia Pergi”. Mulai dari susunan akord, rangkaian notasi, sampai struktur penulisan liriknya gue bedah habis malam itu. Lumayan, lah, terpakai juga Ilmu Bentuk dan Analisa yang dulu gue pelajari di sekolah.

“Sendiri” menceritakan kerinduan yang muncul karena sepinya malam bikin otak kita fokus menyelami memori-memori yang nggak bisa diulang. Sialnya, menyelam terlalu lama bisa bikin kita tenggelam. Kalau sudah tenggelam, kerinduan bisa berubah jadi penyesalan dan kita pun cuma bisa berharap sosok yang kita rindukan bisa hadir menemani di malam yang sepi.

Dalam konteks gue, malam itu kerinduan yang muncul adalah kenangan gue pada sosok mendiang kucing yang sebelas tahun gue pelihara, Voodoo namanya. Saking lamanya dipelihara, Voodoo bisa berinteraksi dengan manusia. Misalnya, kalau lapar, dia bisa buka pintu pendingin makanan untuk menarik perhatian gue. Atau kalau gue lagi jarang di rumah, waktu gue pulang, Voodoo pasti menghampiri dan menjilat-jilat tangan sampai muka gue, yang gue tangkap sebagai ekspresi kangennya.

Di tahun kesebelas gue memelihara Voodoo, ada tumor yang tumbuh di balik hidungnya. Selama beberapa bulan, kondisi kesehatannya naik-turun, kalau agak sehatan, gue ajak dia berjemur di halaman rumah. Tapi kalau lagi nge-drop, jangankan berjemur, melihat Voodoo jalan aja gue nggak tega. “Yang tersisa hanya sesal yang terlambat tiba, Ingin kuulang waktu untuk bisa bersamamu.”

Suatu pagi, gue memarahi Voodoo karena nggak berhenti mengeong. Gue tau kalau dia bermaksud bangunin gue dan minta berjemur, tapi karena gue baru mulai tidur gue malah terganggu dengan ajakannya dan memasukkan Voodoo ke dalam kandangnya. Di malam gue menulis “Sendiri”, kenangan pagi itu pekat mengganggu pikiran gue karena beberapa hari setelah kejadian itu, Voodoo “sembuh” saat gue lagi nggak ada di rumah.

About Author

Erik Sabeni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *